Loading...

Profesionalisme Tanpa APBD

KELUARNYA larangan bantuan dana APBD mulai 2012 disambut cemas oleh klubklub sepak bola profesional, terutama di daerah. Di Jawa Tengah, beberapa tim secara ter buka menyatakan tidak sanggup mengelola klub. Bahkan ada yang mengancam membubarkan diri jika memang larangan tersebut direalisasikan.

Pemerintah sebelumnya telah melarang pembiayaan klub oleh APBD, antara lain dengan menerbitkan melalui PP No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Namun, sejumlah daerah bersikukuh membiayai klub sepak bola masing-masing dengan dana APBD.

Ada sembilan klub profesional dari Jateng yang tersebar di kancah Indonesia Super League (ISL), Divisi Utama, dan Liga Primer Indonesia (LPI). Hanya ada satu penghuni ISL, level kompetisi profesional teratas yang berada di bawah PSSI, yaitu Persijap Jepara. Enam tim lain berkiprah di ajang Divisi Utama, setingkat di bawah ISL, yakni PSIS Semarang, PSIR Rembang, PPSM Sakti Magelang, PSCS Cilacap, Persis Solo, dan Persiku Kudus. Dua lainnya, Semarang United FC dan Solo FC, bermain di kompetisi LPI.

Sebagian besar klub tersebut masih mengandalkan kucuranAPBD. Persijap, misalnya, membutuhkan anggaran sebesar Rp 13 miliar musim ini. Lantaran dana yang didapat dari APBD hanya Rp 7 miliar, mereka menambal kekurangan itu dengan melakukan efisiensi belanja pemain.

Bupati Jepara Hendro Martojo dalam beberapa kesempatan telah menegaskan langkah penghentian aliran APBD untuk klub sepak bola profesional seperti Persijap. Kebijakan itu akan mulai tahun depan.

Menanggapi hal itu, pengurus Persijap pun menyiapkan sejumlah rencana. Selain mengandalkan penjualan tiket penonton dan dana dari sponsor, mereka juga akan membentuk semacam konsorsium penyandang dana yang merupakan gabungan beberapa pengusaha dan badan usaha milik daerah (BUMD).

Langkah tersebut telah diterapkan oleh Persib Bandung, klub ISL dari Jabar. General Manager Persijap Anwar Haryono menegaskan, bila rencana itu tak terwujud, Persijap yang sementara ini berada di peringkat 10 klasemen sementara terancam tidak bisa berkompetisi lagi.

Klub lain, PSIS, mendapatkan Rp 1,2 miliar dari APBD Perubahan 2010. Dana sebesar itu belum mampu mengangkat bond kebanggaan publik Semarang itu ke posisi yang aman untuk mendapat tiket babak delapan besar Divisi Utama. PSIS sementara masih tertahan di posisi keempat grupnya.

Gelontoran dana APBD untuk PSIS akhirakhir ini memang merosot drastis. Selain karena kecaman berbagai pihak, juga karena status PSIS sendiri sebagai penghuni Divisi Utama.
Pemberian dana lewat APBD bahkan pernah dihentikan pada tahun 2008.

Akibatnya kekuatan mereka berkurang lantaran klub tak mampu membeli pemain hebat, sedangkan pilar andalan hengkang ke klub lain.
PSIS pun terdegradasi ke Divisi Utama pada 2009. Sebelumnya, dana yang diterima PSIS adalah Rp 3,1 miliar pada 2004, Rp 7,2 miliar (2005), Rp 14 miliar (2006), dan Rp 12,2 miliar (2007).

Persis Solo sejak musim 2009-2010 tidak mendapat hibah APBD. Perjalanannya dalam mengarungi kompetisi pun terseok-seok. Pada musim lalu, Persis berada di urutan buncit klasemen akhir Divisi Utama Grup II. Di musim ini, mereka masih belum beranjak dari urutan terbawah.

Pada tahun ini, Persis mengajukan permohonan bantuan sekitar Rp 2 miliar dari APBD.
Permohonan itu dengan tegas ditolak Wali Kota Surakarta Joko Widodo. Pria yang akrab disapa Jokowi itu selalu mengatakan emoh menggunakan APBD untuk kegiatan sepak bola profesional.

PPSM Sakti Magelang selama ini menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar dari APBD dalam satu musim kompetisi. Dana tersebut paling banyak digunakan untuk kontrak pemain dan biaya laga tandang ke luar daerah, terutama di luar Jawa.

Harapan Persiku Kudus yang ingin mendapatkan dana operasional dari APBD sebesar Rp 7 miliar tidak terwujud. Anggaran dana untuk Tim Macan Muria dipangkas dari target tersebut menjadi Rp 5 miliar. Kemudian direvisi lagi menjadi Rp 3,97 miliar. Tim tetangga Persiku, PSIR, mendapat alokasi dana dari APBD setempat melalui dana hibah ke KONI Rembang sebesar Rp 7 miliar.

Dua klub penghuni LPI, Semarang United dan Solo FC, tidak mendapat biaya dariAPBD.
Mereka mendapat anggaran dari konsorsium pengusaha nasional yang menyokong LPI.
Pengusaha Menggandeng pengusaha bisa menjadi solusi alternatif masalah pendanaan klub seperti yang dilakukan Persib. Klub ini mampu mengumpulkan Rp 50 miliar dalam dua musim kompetisi.

Semua itu berkat lobi yang dilakukan Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf dalam mendekati sejumlah pengusaha. Hasilnya, mereka menyatakan bersedia menjadi donatur.
Kesediaan itu bermuara pada pembentukan konsorsium PT Persib Bandung Bermartabat.
Para pengusaha yang dipimpin pengusaha di bidang migas, Glen Sagita, kemudian sepakat mengucurkan dana yang bersifat bantuan yang harus dikembalikan sesuai jangka waktu yang telah disepakati.

Klub mandiri lainnya adalah Arema Indonesia yang sudah lepas dariAPBD sejak bernaung di bawah PTArema Indonesia. Di bawan badan yang modern dan mandiri itu, Arema berubah menjadi klub profesional dengan manajemen ke arah industri sepak bola modern.

Arema menggaet banyak sponsor dengan mengganti nama Arema Malang dengan Arema Indonesia. Tujuannya untuk mencipatakan kesan bahwa Arema bukanlah milik masyarakat Malang Raya semata.

Persib dan Arema bisa menjadi contoh bagi klub lain yang ingin mandiri. Masalahnya apakah para pengusaha mau mendanai klub dengan melihat prestasi klub yang masih angin-anginan? Sebagai olahraga paling populer dan memiliki penggemar terbanyak, sepak bola Indonesia seharusnya bisa menjadi industri modern. (Nurul Muttaqin-65/SM)
Super Liga 1085121892233277432

Posting Komentar

  1. tajudien jetmania26 April 2011 pukul 06.33

    Bisa gk yach sepokbola di negeri tanpa uang rakyat/ APBD...

    BalasHapus

emo-but-icon

Beranda item

Follow Us


History

Official Jersey

Archive