Loading...

Sepak Bola sebagai Industri

Oleh Rayana Djakasurya

LANGKAH perjalanan sepak bola Indonesia masih berwarna kelabu yang sangat menyedihkan. Padahal beberapa hari yang lalu, PSSI sebagai organisasi tertinggi sepak bola kita genap berumur 81 tahun.

Jika menyimak kilas balik fenomena tersebut, tampak bahwa hasil perjalanan historis persepakbolaan kita hampir serupa dengan evolusi budaya sepak bola Italia yang telah menghasilkan gelar juara dunia empat kali.

Nah, jomplangnya hasil perbandingan Italia dengan Indonesia, karena Italia bisa berevolusi mengubah budaya sepak bola yang tadinya mikro menjadi makro. Budaya ini membuat sepak bola menjadi sumber penghasilan negara.

Pengelolaannya tentu dengan mengedepankan kekuatan manajemen klub. Output-nya adalah industri yang menjunjung rules of the game sebagai pengawal keberhasilan pembinaan persepakbolaan. Tidak aneh jika kita bisa menikmati sepak bola mereka di televisi berupa tayangan Serie A yang berkualitas.

Menjadi pertanyaan menarik mengapa sepak bola di Indonesia berkembang sangat miris pada hasil dibandingkan Italia. Saya melihat Indonesia mengembangkan dunia sepak bola dalam sebuah perjuangan. Artinya persepakbolaan di Indonesia cenderung menciptakan budaya mikro yang berwarna politis.

Pada akhirnya hanya menghasilkan polemik berkepanjangan tampa solusi. Tidak kalah pentingnya, lembaga sekelas PSSI yang bertanggung jawab terhadap pembinaan yang obyektif berubah menciptakan produk power of the games.

Kelahiran sebuah lembaga pembinaan sepak bola bergaya profesional yang sah dalam hukum positif di Indonesia, juga dilindungi pemerintah seperti Liga Profesional Indonesia (LPI), dituduh sebagai pembinaan yang ilegal. Padahal jika ada lembaga yang berinisiatif terjun dalam pembinaan sepak bola untuk melaksanakan kompetisi secara profesional, tidak harus melulu identik dengan PSSI. Perilaku pengurus PSSI kemudian lebih cenderung menonjolkan power of the games.

Di seluruh dunia, federasi sepak bola seperti PSSI hanya berfungsi sebagai fasilitator.
Tugasnya menjembatani pembinaan yang dikelola CEO klubklub swasta yang bergerak dalam industri dengan kawalan rules of the game. Jika format ini diikuti, tentu yang diuntungkan adalah federasinya.

Sebab, materi pesepakbola nasional yang berkualitas akan muncul. Liga berjalan dengan aturan main yang obyektif.
Tidak ada perjudian, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengaturan skor dan jual-beli posisi degradasi dalam klasemen seperti yang terjadi dalam sejarah sepak bola Indonesia tidak akan terjadi.

Setelah menyaksikan karutmarut persepakbolaan kita dengan hasil yang membuat miris, tentu ke depannya PSSI harus melindungi klub profesinal yang berkembang di Indonesia. Tidak boleh ada lagi klub dibiayai oleh dana APBD karena cara tersebut cenderung berujung kepada penyelewengan. Dana APBD juga menyebabkan hilangnya warna profesional dalam pengelolaan. Pengurus klub cenderung memikirkan perjuangan dapur pribadi masing-masing.
Liga Profesional Apakah di Indonesia telah ada liga profesional? Tentu sudah ada seperti yang dikelola manajemen LPI.

Klub yang mengikuti kompetisi ini telah memenuhi persyaratan. Mereka dikelola dengan uang sendiri (swadana), bukan dana APBD. Keberadaan pemain asing berkualitas juga telah dipenuhi. Wasit dari asosiasi yang ada di kompetisi itu memenuhi persyaratan, tidak bisa disuap karena menjalankan aturan main lebih dipentingkan.

Di sisi lain, problem utama yang dihadapi klub profesional di Indonesia adalah pendanaan. Faktor ini jelas harus diperkuat. Pembinaan sepak bola yang profesional identik dengan dana serta infrastruktur yang bagus.

Sebagai resume dari tulisan ini, PSSI sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan sepak bola nasional harus mengubah pradigma perjuangan.
Dari semula power of the game menjadi rules of the game. Organisasi ini harus mengedepankan perannya sebagai fasilitator dalam kehidupan sepak bola Indonesia.

Industri sepak bola juga tidak menutup kemungkinan bagi para politikus untuk berperan dalam memajukan sepak bola. Tentunya dengan tidak mencari segala cara agar bisa menjadi ketua umum PSSI, melainkan membeli klub profesional dan mengelolanya.
Kita bisa melihat contoh yang ditunjukkan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi yang membeli klub AC Milan dengan tetap tunduk kepada rules of the game.

Tidak kalah pentingnya adalah peran pemerintah dalam melindungi industri sepak bola. Pemerintah harus berperan aktif dalam penyediaan infrastruktur seperti pembangunan lapangan dan stadion yang memadai di seluruh pelosok negeri. Pada akhirnya, pemerintah pasti diuntungkan dengan penghasilan industri sepak bola seperti di negara maju yang digarap dengan serius. Jika profesionalisme yang mengedepankan ciri swadaya dan swadana diabaikan, tentu kita akan kembali terjerembab kepada pola lama budaya mikro yang berpolemik tanpa akhir. ( Suaramerdeka (65) -Penulis adalah pengamat sepak bola, pernah bermukim di Italia )
Super Liga 7236066299975624704

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Follow Us


History

Official Jersey

Archive