Loading...

Politik Suporter Jepara - Semarang

BETAPA indah gagasan damai pengusaha angkutan ini: di bagian muka sebuah bus mini yang wira-wiri dari Terboyo ke Jepara, terpampang tulisan besar “PERSIJAP - PSIS PP”, yang mudah diartikan sebagai rute bus itu: Jepara - Semarang pulang pergi.

Semarang ya, Jepara yes. PSIS oke, Persijap oye! Kira-kira begitu pesan kreatifnya. Semangat ke-jawatengah-an label bus mini itu lebih mengemuka ketimbang penonjolan entitas hanya Jepara atau hanya Semarang!

Ya, percayalah Saudara-saudaraku, matahari kembar akan memberi sinar lebih terang, dan keduanya tak perlu dibenturkan hanya untuk kepentingan menyulut pijar besar “kiamat sughro” di sana-sini.

Biarkanlah Persijap bersinar di Liga Super, PSIS bercahaya di Liga Utama bersama matahari Jawa Tengah lainnya seperti PPSM Sakti Magelang, atau Persis Solo. Mentari-mentari itu akan menyiangi kebanggaan di lingkup masyarakat region, agar sepak bola tidak justru menjebak entitas-entitas provinsi ini ke kiamat kecil karena berlakunya tesis global paradox yang menggelisahkan itu...

Psikologi Regional
Mari kita toleh jauh ke belakang. Ketika Persijap merajai kompetisi yunior Piala Suratin pada 1982 lewat final melawan Persib Bandung di Stadion Diponegoro Semarang, pendukung Bagong Harmadi dkk bukan hanya masyarakat Jepara. Wong Semarang pun ikut merasakan kebanggaannya.

Begitu pula ketika PSIS menjuarai Kompetisi Divisi Utama 1986-1987 di Senayan, saya bertemu dengan banyak saudara Jepara beratribut PSIS — datang jauh-jauh ke Jakarta — untuk memberi dukungan kepada Syaiful Amri dkk.

Artinya, psikologi regional lebih mendominasi dukung-mendukung itu ketimbang atributisasi lokal untuk saling berebut hak atas “matahari sejati” Jawa Tengah.

Jadi apa yang sesungguhnya dicari oleh para pelaku kekerasan dengan menyerang rombongan suporter Jepara yang akan menyokong kesebelasannya ke Jakarta? Apa pun apologinya, itulah kekerasan yang menumpang atau mengatasnamakan suatu keterkaitan dengan urusan sepak bola.

Jauh sebelum suporter terkotak-kotak (atau diorganisasi) dalam kelompok-kelompok identitas klub seperti sekarang, klaim tentang heroisme berekspresi telah menempatkan suporter Jepara sebagai salah satu yang fantastik, di samping — misalnya — pendukung fanatik Persebaya.

Inilah catatan yang saya tulis pada 1994, “... ‘tak ada rasa takut’ adalah sisi yang menarik di antara fenomena persuporteran lainnya di Tanah Air. Bayangkanlah, tak pernah ada keluhan rugi setiap kali Jepara menjadi penyelenggara turnamen bola. Bahkan daerah-daerah lain pun ikut memetik keuntungan jika Persijap tampil di kandang mereka. Aksi ‘pelurugan’ suporternya memberi langgam kegairahan tersendiri. ‘Pentas’ suporter ini, beberapa hari menjelang pertandingan berlangsung sudah merupakan daya tarik tersendiri...” (Potret Olahraga, 1994)

Dalam buku itu saya menyimpulkan, “...percaya saja, suporter Persijap adalah lelaki Jepara tulen. Suaranya keras, kalimatnya nyelekit, tetapi hati mereka sejujur orang-orang pesisiran yang mengatakan apa yang ingin dikatakan, tetapi tidak ingin menyimpan persoalan untuk kemudian dimuntahkan lewat intrik-intrik licik dan impulsif.

Aroma rivalitas suporter Semarang dan Jepara seharusnya lebih dibaca sebagai bias dari pemahaman matahari kembar tadi. Ketika bawah sadar manusia membutuhkan ekspresi aktualisasi, lewat entitas-entitas yang sangat “primordi”, maka lahirlah semangat “suku”, sebagaimana tesis Desmond Morris tentang tribalisme sepak bola.

Benturan demi benturan seolah-olah mengkristalkan bara dendam sebagai justifikasi melakukan suatu tindakan yang merepresentasikan kesukuan. Jadilah rebutan hak atas matahari itu mendorong ke arah bentuk-bentuk tindakan berebut sinar, berebut pengaruh, dan berebut klaim sebagai yang lebih berani, lebih dahsyat, dan lebih lelaki.

Di Jawa bagian tengah, klasika “pertemuan” kelompok suporter ini sebenarnya bukan hanya terjadi antara Semarang - Jepara, tetapi kita punya entitas lain seperti Solo dan Yogyakarta yang dalam sejumlah insiden juga menerbitkan imbas anarkisme.

Eksistensi suporter Jepara — sebelum terorganisasi dalam Jetman dan Banaspati — sebenarnya lebih dahulu “diakui” dibandingkan dengan Semarang. Namun Semarang lebih awal mengikuti tren pengorganisasian lewat Panser Biru, disusul SneX kemudian. Bahkan salah seorang pendiri Panser, Andi Putra Alam bersama saya pernah diundang ke sebuah diskusi di Jepara untuk mempresentasikan pandangan-pandangan tentang bagaimana menyinergikan media, suporter, dan manajemen tim untuk membangun atraktivitas persepakbolaan.

Atraktivitas pendukungan! Mengapa bukan konsep ala Arema beberapa tahun silam itu yang sama-sama dieksploitasi sebagai ikhtiar bersaing membangun kelompok yang lebih “seni”, lebih “indah”, lebih “atraktif”, dan lebih “kreatif”?
Ya, karena urusannya adalah sepak bola.

Apa yang terjadi di sepak bola, termasuk dunia suporternya, hakikatnya merupakan “jagat kecil” yang merefleksikan apa yang terjadi di “jagat besar” kehidupan sosial-politik-ekonomi pada umumnya. Maka terkadang muncul analisis, jangan sekadar menyalahkan letupan-letupan suporter, misalnya dalam fenomena bandha nekat (bonek) Surabaya, karena akar masalahnya bukan hanya di sepak bola.

Namun, seperti dicatat oleh Richard Giulianotti, para sosiolog cenderung telah mengecilkan arti kenikmatan psikososial kekerasan sepak bola. Hooligan, menurutnya secara teratur mengacu pada “dengung” (buzz) emosional yang menyergap saat mereka “bergairah” melawan pesaing. Dijelaskan pula soal sensasi hooligan menurut konsep “aliran”. Istilah terapan lainnya adalah “kegiatan berbahaya”, juga diajukan konsep lain dengan mengategorikan hooliganisme sebagai perburuan atau kegiatan waktu luang yang menyerempet bahaya atau berisiko. (Sepak Bola, Pesona Sihir Permainan Global, 2006)
Tema-tema dalam analisis Giulianotti itu, yang secara komprehensif direfleksikan dari runutan historis kondisi global di negara-negara Eropa dan Amerika Latin, boleh jadi juga mempunyai muara yang sama jika dianalogikan dengan beragam ekspresi yang menumpangi sepak bola, seperti yang banyak kita rasakan di Indonesia.

Jauh melompat ke luar pagar itu, energi politik juga bisa menggerakkan kelompok-kelompok suporter itu untuk keuntungan-keuntungan politik tertentu. Tesis Giulianotti menjelaskan keterkaitan politis itu dalam studinya terhadap klub-klub di Argentina, yang pemimpinnya berakses ke kelompok suporter sebagai kekuatan pendukung.

Tingkat akses yang demikian itu tak kalah berbahaya dari anarkisme dan vandalisme. Namun kita belum menemukan benang merah yang lebih rasional untuk menjelaskan, ada kepentingan apa di balik kasus pencegatan dan penyerangan rombongan bus suporter Jepara di Semarang itu.

Kriminalitas jelas ya, namun pertimbangan apa yang mendorong aksi pencegatan dan penyerangan, itu tak pernah masuk dalam kamus persuporteran.

Rekonsiliasi
Biarlah kepolisian menyelidiki, mendalami, dan memproses kejadian memprihatinkan itu dengan tema membangun efek jera. Urusan kita adalah bagaimana titik hitam sekarang ini tidak menjadi justifikasi bagi rentetan kejadian yang tak terduga sesudahnya.

Pertama, segeralah digalang forum semeja yang menyertakan seluruh stakeholder suporter Semarang dan Jepara. Jika dianggap perlu, petinggi kedua daerah ikut memfasilitasinya sebagai sang pamomong forum tersebut.
Kedua, agendakan langkah-langkah simpatik untuk meredam dendam, mereduksi potensi-potensi yang bisa menggesek memori kelam, dengan bersikap tegas terhadap anggota yang “nyempal” dari pakem kesepakatan.

Ketiga, bagaimana menginternalisasikan kesadaran ber-Jawa Tengah, sehingga forum semeja tersebut tidak hanya berlaku bagi para elite suporter kedua daerah, melainkan menjadi cahaya yang mengukuhkan kebersamaan sebagai matahari kembar, bersumber dari energi kebanggaan yang sama.

Keempat, jagalah jangan sampai suporter-suporter kita, dengan formulasi kecenderungan tindakan-tindakannya, mengarah menjadi bonek ala Jawa Tengah.(62)

— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka
Supporter 594754561970652499

Posting Komentar

emo-but-icon

Beranda item

Follow Us


History

Official Jersey

Archive