Tak Hanya Bernyanyi, tapi Juga Punya Hati
http://www.persijap.or.id/2010/02/tak-hanya-bernyanyi-tapi-juga-punya.html
Kiprah Para Pendukung Fanatik Kesebelasan
Penyerangan terhadap rombongan Banaspati, salah satu kelompok suporter Persijap, Jumat (29/1) malam di Semarang mengejutkan banyak pihak. Apalagi otak dari penyerangan itu adalah Edy Purnomo alias Kirun, ikon Panser Biru (suporter PSIS). Bagaimana sebenarnya kiprah dan peran suporter selama ini? Berikut laporannya.
Katanya bola itu rusuh Katanya bola tak bermutu Apapun yang terjadi Kami tetap janji Mendukung bola negeri ini Politik berkelahi Saling caci maki Bagi kami football for unity...
LAGU tersebut sering dinyanyikan suporter-suporter sepak bola di seluruh negeri ini saat mendukung tim kesayangannya. Suporter PSIS, Panser Biru dan Snex pun tak jarang melantunkan lagu tersebut di tengah-tengah pertandingan. Tidak hanya untuk memantik semangat penonton agar terus meneriakkan yel-yel dan gerakan atraktif saat memberi dukungan terhadap timnya, tapi juga meningkatkan motivasi dan fighting spirit pemain yang berlaga di lapangan hijau.
Ya, suporter sering dianggap sebagai pemain ke-12. Mereka memberi semangat, motivasi, dan kepercayaan diri terhadap pemain yang bertanding. Tanpa adanya yel-yel dan sorak-sorai dari mereka, pertandingan akan terasa hambar dan tidak gereget. Karena itulah, suporter PSIS selalu menyediakan dirinya untuk hadir di setiap pertandingan kandang di Stadion Jatidiri. Kalaupun main di luar kandang, jika masih di Pulau Jawa dan Bali, dipastikan mereka tetap akan ngluruk untuk memberikan dukungan terhadap tim kebanggaan warga Semarang ini.
Begitu juga dengan Barisan Suporter Persijap Jepara Sejati (Banaspti). Salah satu dari tiga kelompok suporter pendukung Persijap ini juga akan selalu mendukung tim kesayangannya, baik saat main di tempat sendiri maupun kandang lawan.
Banaspati menjadi kekuatan lain bagi Persijap, di samping dua kelompok suporter lainnya, yakni Jepara Tifosi Mania (Jetman) yang tetap eksis hingga sekarang, dan satunya adalah New Laskar Kalinyamat (terakhir kali masih ada di stadion dan beratribut pada 2004). Kelompok yang terakhir yang banyak dihuni kalangan pelajar ini telah tenggelam, sedangkan Banaspati dan Jetman terus berkembang.
’’Kehadiran suporter sangat penting di setiap pertandingan. Sorak-sorai mereka mampu membangkitkan semangat kami saat bertanding,’’ ungkap mantan pemain PSIS dan Timnas asal Semarang M Ridwan yang saat ini membela Pelita Jaya.
’’Tanpa suporter, pertandingan sepak bola ibarat masakan tanpa garam. Pemain jadi tidak bersemangat,’’ timpal mantan Manajer Tim PSIS Ir Anggoro Mardihusodo yang akrab disapa Yoyok Mardijo.
Aksi-aksi suporter PSIS sebenarnya tidak hanya bisa dilihat dan dinikmati saat pertandingan. Di luar stadion, aksi mereka pun tak kalah serunya. Mereka sering menggelar kegiatan sosial seperti sunatan massal, pengobatan gratis, dan mengasuh anak jalanan. Bahkan, tak jarang diterjunkan untuk membantu warga yang terkena bencana alam. Hal itulah yang dilakukan Panser Kesehatan yang didirikan pada Agustus 2005 lalu dengan anggota dokter, perawat, dan tenaga kesehatan.
’’Suporter tidak cuma bisa berteriak dan bernyanyi di stadion saat pertandingan, tapi mereka juga harus punya kepedulian sosial yang tinggi. Istilahnya juga punya hati terhadap permasalah sosial. Hal itu bagian dari usaha untuk mencari dukungan tim dan mengangkat nama baik PSIS,’’ ujar Penasihat Panser Kesehatan Dokter Djoko Trihadi.
Hanya, saat ini kegiatan sosial seperti itu jarang dilakukan lagi. Pasalnya, hubungan antara suporter dan PSIS terasa renggang. Pengurus dan manajemen kurang peduli terhadap suporter. Bahkan, pemain pun sepertinya tidak punya ikatan dengan pendukungnya. Akibatnya, menurut Djoko, suporter tidak terkontrol dan melakukan tindakan-tindakan sesuka hatinya.
Banaspati Non-blok
Di Jepara, Banaspati merupakan salah satu kelompok suporter yang dikenal amat militan. Berdiri pada 2002, saat Persijap kali pertama promosi ke Divisi Utama, kelompok yang mengakomodasi semua kalangan itu kini sudah memiliki 4.000 anggota, tersebar di lebih dari 70 koordinator wilayah seluruh Jepara. Nama Banaspati hanya sebuah singkatan, namun kata itu di kalangan pantura timur lebih memiliki asosiasi sosok memedi. Nama-nama korwil pun serupa meski tak sama.
Banaspati terus tumbuh pesat dan kini menjadi suporter atraktif buat Persijap. Penampilan mereka saat mendukung tim, bisa memecah perhatian penonton yang menyaksikan pertandingan kandang Evaldo dan kawan-kawan di Gelora Bumi Kartini. Setelah kalangan kelompok suporter Persijap banyak menuai kritik karena tak bisa memenuhi tribun timur, Banaspati, juga Jetman pun meresponsnya dengan posotif kritik itu. Demi membakar spirit Evaldo cs, pada musim 2010 ini mereka memenuhi tribun timur, membentuk barisan merah yang selalu tampil dengan yel-yel variatif, gerakan tangan menarik, serta untaian pita dukungan warna-warni. Mereka adalah bagian penting dari nyawa kompetisi di internal Persijap, karena sering terbukti, tim tampil lebih bersemangat ketika kelompok suporter itu juga menampilkan ’’permainan’’ yang menarik.
Banaspati juga tak diragukan militansinya karena hampir selalu mendampingi tim pada laga tandang, selagi di Pulau Jawa. Karakter mereka jauh dari—misalnya mencegat truk atau kereta api di jalan dan lintasan untuk sampai ke tujuan. Orang-orang Jepara, yang tidak tergabung secara keanggotaan kerap menilai Banaspati, termasuk Jetman, sebagai suporter maliter. Orang Jepara menggunakan kata maliter untuk menyebut penampilan yang rapi dan kesannya berduit.
Sesepuh Banaspati Zaenur Rohman menyatakan, garis sikap kelompoknya adalah tengah berupaya seterbuka mungkin dengan kelompok suporter di luar Jepara. ’’Kami berusaha untuk bersikap non-blok,’’ kata Zaenur, wirausahawan di bidang perkayuan itu.
Menurut pengamat sosial FISIP Undip Hedi Pudjo Santosa, perilaku tidak mau kalah dengan orang terdekat dalam suatu pertandingan wajar terjadi. Keinginan untuk menunjukkan siapa yang lebih unggul di antara orang terdekat itu memunculkan emosi tinggi.
Sentimen lama dan menjadi dendam seharusnya ada yang menjembatani. Para suporter tersebut diberi pengertian bagaimana seharusnya mendukung tim kesayangan mereka dengan tindakan positif, bukan melalui kekerasan. (Budi Winarto, Fani Ayudea, Muhammadun Sanomae-62)
Penyerangan terhadap rombongan Banaspati, salah satu kelompok suporter Persijap, Jumat (29/1) malam di Semarang mengejutkan banyak pihak. Apalagi otak dari penyerangan itu adalah Edy Purnomo alias Kirun, ikon Panser Biru (suporter PSIS). Bagaimana sebenarnya kiprah dan peran suporter selama ini? Berikut laporannya.
Katanya bola itu rusuh Katanya bola tak bermutu Apapun yang terjadi Kami tetap janji Mendukung bola negeri ini Politik berkelahi Saling caci maki Bagi kami football for unity...
LAGU tersebut sering dinyanyikan suporter-suporter sepak bola di seluruh negeri ini saat mendukung tim kesayangannya. Suporter PSIS, Panser Biru dan Snex pun tak jarang melantunkan lagu tersebut di tengah-tengah pertandingan. Tidak hanya untuk memantik semangat penonton agar terus meneriakkan yel-yel dan gerakan atraktif saat memberi dukungan terhadap timnya, tapi juga meningkatkan motivasi dan fighting spirit pemain yang berlaga di lapangan hijau.
Ya, suporter sering dianggap sebagai pemain ke-12. Mereka memberi semangat, motivasi, dan kepercayaan diri terhadap pemain yang bertanding. Tanpa adanya yel-yel dan sorak-sorai dari mereka, pertandingan akan terasa hambar dan tidak gereget. Karena itulah, suporter PSIS selalu menyediakan dirinya untuk hadir di setiap pertandingan kandang di Stadion Jatidiri. Kalaupun main di luar kandang, jika masih di Pulau Jawa dan Bali, dipastikan mereka tetap akan ngluruk untuk memberikan dukungan terhadap tim kebanggaan warga Semarang ini.
Begitu juga dengan Barisan Suporter Persijap Jepara Sejati (Banaspti). Salah satu dari tiga kelompok suporter pendukung Persijap ini juga akan selalu mendukung tim kesayangannya, baik saat main di tempat sendiri maupun kandang lawan.
Banaspati menjadi kekuatan lain bagi Persijap, di samping dua kelompok suporter lainnya, yakni Jepara Tifosi Mania (Jetman) yang tetap eksis hingga sekarang, dan satunya adalah New Laskar Kalinyamat (terakhir kali masih ada di stadion dan beratribut pada 2004). Kelompok yang terakhir yang banyak dihuni kalangan pelajar ini telah tenggelam, sedangkan Banaspati dan Jetman terus berkembang.
’’Kehadiran suporter sangat penting di setiap pertandingan. Sorak-sorai mereka mampu membangkitkan semangat kami saat bertanding,’’ ungkap mantan pemain PSIS dan Timnas asal Semarang M Ridwan yang saat ini membela Pelita Jaya.
’’Tanpa suporter, pertandingan sepak bola ibarat masakan tanpa garam. Pemain jadi tidak bersemangat,’’ timpal mantan Manajer Tim PSIS Ir Anggoro Mardihusodo yang akrab disapa Yoyok Mardijo.
Aksi-aksi suporter PSIS sebenarnya tidak hanya bisa dilihat dan dinikmati saat pertandingan. Di luar stadion, aksi mereka pun tak kalah serunya. Mereka sering menggelar kegiatan sosial seperti sunatan massal, pengobatan gratis, dan mengasuh anak jalanan. Bahkan, tak jarang diterjunkan untuk membantu warga yang terkena bencana alam. Hal itulah yang dilakukan Panser Kesehatan yang didirikan pada Agustus 2005 lalu dengan anggota dokter, perawat, dan tenaga kesehatan.
’’Suporter tidak cuma bisa berteriak dan bernyanyi di stadion saat pertandingan, tapi mereka juga harus punya kepedulian sosial yang tinggi. Istilahnya juga punya hati terhadap permasalah sosial. Hal itu bagian dari usaha untuk mencari dukungan tim dan mengangkat nama baik PSIS,’’ ujar Penasihat Panser Kesehatan Dokter Djoko Trihadi.
Hanya, saat ini kegiatan sosial seperti itu jarang dilakukan lagi. Pasalnya, hubungan antara suporter dan PSIS terasa renggang. Pengurus dan manajemen kurang peduli terhadap suporter. Bahkan, pemain pun sepertinya tidak punya ikatan dengan pendukungnya. Akibatnya, menurut Djoko, suporter tidak terkontrol dan melakukan tindakan-tindakan sesuka hatinya.
Banaspati Non-blok
Di Jepara, Banaspati merupakan salah satu kelompok suporter yang dikenal amat militan. Berdiri pada 2002, saat Persijap kali pertama promosi ke Divisi Utama, kelompok yang mengakomodasi semua kalangan itu kini sudah memiliki 4.000 anggota, tersebar di lebih dari 70 koordinator wilayah seluruh Jepara. Nama Banaspati hanya sebuah singkatan, namun kata itu di kalangan pantura timur lebih memiliki asosiasi sosok memedi. Nama-nama korwil pun serupa meski tak sama.
Banaspati terus tumbuh pesat dan kini menjadi suporter atraktif buat Persijap. Penampilan mereka saat mendukung tim, bisa memecah perhatian penonton yang menyaksikan pertandingan kandang Evaldo dan kawan-kawan di Gelora Bumi Kartini. Setelah kalangan kelompok suporter Persijap banyak menuai kritik karena tak bisa memenuhi tribun timur, Banaspati, juga Jetman pun meresponsnya dengan posotif kritik itu. Demi membakar spirit Evaldo cs, pada musim 2010 ini mereka memenuhi tribun timur, membentuk barisan merah yang selalu tampil dengan yel-yel variatif, gerakan tangan menarik, serta untaian pita dukungan warna-warni. Mereka adalah bagian penting dari nyawa kompetisi di internal Persijap, karena sering terbukti, tim tampil lebih bersemangat ketika kelompok suporter itu juga menampilkan ’’permainan’’ yang menarik.
Banaspati juga tak diragukan militansinya karena hampir selalu mendampingi tim pada laga tandang, selagi di Pulau Jawa. Karakter mereka jauh dari—misalnya mencegat truk atau kereta api di jalan dan lintasan untuk sampai ke tujuan. Orang-orang Jepara, yang tidak tergabung secara keanggotaan kerap menilai Banaspati, termasuk Jetman, sebagai suporter maliter. Orang Jepara menggunakan kata maliter untuk menyebut penampilan yang rapi dan kesannya berduit.
Sesepuh Banaspati Zaenur Rohman menyatakan, garis sikap kelompoknya adalah tengah berupaya seterbuka mungkin dengan kelompok suporter di luar Jepara. ’’Kami berusaha untuk bersikap non-blok,’’ kata Zaenur, wirausahawan di bidang perkayuan itu.
Menurut pengamat sosial FISIP Undip Hedi Pudjo Santosa, perilaku tidak mau kalah dengan orang terdekat dalam suatu pertandingan wajar terjadi. Keinginan untuk menunjukkan siapa yang lebih unggul di antara orang terdekat itu memunculkan emosi tinggi.
Sentimen lama dan menjadi dendam seharusnya ada yang menjembatani. Para suporter tersebut diberi pengertian bagaimana seharusnya mendukung tim kesayangan mereka dengan tindakan positif, bukan melalui kekerasan. (Budi Winarto, Fani Ayudea, Muhammadun Sanomae-62)