Fanatisme Kedaerahan Masih Tumbuh Subur
http://www.persijap.or.id/2010/02/fanatisme-kedaerahan-masih-tumbuh-subur.html
Kerusuhan Suporter Tiada Henti
KERUSUHAN suporter sepak bola di Indonesia seperti tiada habisnya. Dari tahun ke tahun, kejadian itu terus mewarnai persepakbolaan nasional. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya dalam bentuk materi dan psikis, tapi juga nyawa manusia. Tempat kejadiannya pun semakin meluas.
Tak hanya di Pulau Jawa, tapi sudah mulai merembet ke kota-kota di luar Jawa yang punya tim-tim sepak bola. Namun
hingga kini belum ada usaha riil dan tepat untuk meminimalkan atau mengantisipasi kerusuhan tersebut.
Pada akhir Januari dan awal Februari 2010 saja, terjadi dua kerusuhan suporter di Jawa Tengah.
Sabtu (23/1), ribuan bonek, suporter Persebaya, yang ngluruk ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya melawan Persib Bandung dengan naik kereta api, berbuat anarkis dengan melempari rumah dan menjarah barang-barang pedagang di sepanjang rel kereta api di Solo dan sekitarnya.
Aksi tersebut membuat marah warga Solo. Ketika bonek pulang dari Bandung pada 24 Februari, warga membalas dan melempari kereta api yang mereka tumpangi.
Belum hilang peristiwa itu dari ingatan kita, pada 1 Februari dunia persepakbolaan nasional kembali dikejutkan dengan aksi anarkis oknum suporter PSIS yang melempari bus suporter Persijap saat melintas di Jalan Siliwangi Semarang. Rencananya, suporter Laskar Kalinyamat itu akan mendukung tim kesayangannya saat ditantang Persija di Stadion Lebak Bulus. Akibatnya, tiga bus rusak parah dan belasan suporter Persijap luka-luka.
’’Banyak faktor penyebab kerusuhan suporter. Tapi, sejatinya kerusuhan yang selama ini terjadi lebih banyak disebabkan dua faktor, yaitu fanatisme kedaerahan yang tinggi serta permainan sepak bola itu sendiri,’’ ungkap mantan Ketua Umum Panser Biru (organisasi suporter PSIS), Andi Putra Alam.
Fanatisme kedaerahan inilah yang membuat suporter kadang tidak terima jika prestasi kesebelasan kesayangannya kalah dari tim lain, terutama tim daerah tetangga dekat. Mereka ingin klub jagoannya tetap superior terhadap tim-tim lain di sekitarnya.
Kondisi itu menciptakan persaingan dan emosi tinggi sehingga menjadikan sentimen kedaerahan, bahkan melahirkan dendam. Adapun tentang faktor sepak bola itu sendiri, menurut Andi, kerusuhan biasanya dipicu karena wasit berat sebelah, tim kesayangannya kalah dari tim tamu, dan perkelahian antarpemain.
Ingin Eksis
Lahirnya kerusuhan juga tak lepas dari fanatisme organisasi kelompok suporter. Kelompok-kelompok itu ingin terlihat eksis dan diakui masyarakat sebagai yang terbaik. Akibatnya, saat ini terlihat pergeseran pemahaman tentang arti suporter.
Suporter sejatinya merupakan orang atau sekelompok orang yang memberikan dukungan terhadap tim kesayangannya. Mereka akan memberikan segala perhatian, termasuk rela memberikan segala jiwa dan raganya terhadap tim kebanggaannya sebagai bentuk dukungan fanatik.
Namun, sekarang ini makna tersebut kurang dipahami para pendukung klub sepak bola. Mereka cenderung fanatik terhadap organisasi suporternya dibanding tim kesayangannya. Suporter kurang memiliki totalitas semangat untuk mendukung timnya, tapi mereka menghabiskan tenaganya untuk mengangkat nama organisasi.
’’Eman-eman kalau semangat suporter hanya untuk mendukung kelompoknya. Harusnya mereka lebih berani tampil kreatif, atraktif, dewasa, dan total dalam mendukung tim. Jika semangat dan totalitas mendukung tim itu yang lebih diutamakan, ketegangan antarsuporter bisa diminimalkan,’’ kata Andi.
Kerusuhan yang selama ini terjadi, menurut Sekretaris Umum (Sekum) Pengda PSSI Jateng Johar Lin Eng, memang lebih banyak terjadi di Pulau Jawa. Hal itu tidak mengherankan, mengingat tim-tim sepak bola dengan pendukung fanatiknya lebih banyak berada di Jawa dibanding dengan di luar Jawa. Aroma persaingannya pun lebih ketat. Tensi pertandingan akan lebih tinggi jika ada partai derby antartim sekota atau seprovinsi.
Misalkan Arema Malang lawan Persebaya Surabaya, Arema lawan Persik Kediri, PSIS lawan Persijap Jepara, serta Persija lawan Persib.
’’Saling hujat dan menghina antarsuporter di setiap pertandingan itu justru akan semakin memupuk rasa dendam. Jika itu terus dilakukan mereka, rasanya sulit untuk mengikis kekerasan dan kerusuhan dalam sepak bola,’’ ungkapnya.
Berbeda dengan di Jawa, kerusuhan suporter yang terjadi di luar Jawa biasanya lebih banyak disebabkan oleh permainan sepak bola itu sendiri, seperti tim kesayangannya kalah, kepemimpinan wasit yang kurang tegas, dan perkelahian antarpemain.
Lihat saja kerusuhan di Stadion Andi Mattalata Makassar saat PSM dikalahkan PSPS Pekanbaru 1-2 (3/11/2009). Pendukung Juku Eja marah dan melempari bangku cadangan pemain PSM, PSPS, dan aparat kepolisian.
Sebelumnya, pada 15 September 2008, suporter PSM juga ngamuk saat timnya dikalahkan Persela 1-3.
Laga Persipura di kandang Persiwa pada 1 Februari 2009 lalu juga berakhir rusuh ketika ribuan suporter tuan rumah menyerbu ke lapangan untuk merayakan kemenangan timnya dengan skor 1-0. Pendukung Persipura tidak terima diejek suporter Persiwa, sehingga terjadi perkelahian massal.
’’Di luar Jawa kerusuhan tidak sebrutal di Jawa. Penyebabnya hanya ketidakpuasan suporter terhadap hasil pertandingan. Jarang sekali tawuran antarsuporter seperti yang sering terjadi di Jawa,’’ terang Johar.
’’Pembinaan terhadap suporter perlu dilakukan. Itu menjadi tugas klub. Jika kelompok-kelompok suporter itu diarahkan secara benar, mereka akan lebih dewasa dalam mendukung tim kesayangannya,’’ imbuh general manager PSIS itu.
Masalah Pribadi
Bagaimana dengan pengaruh alkohol? Johar menyatakan, budaya masyarakat Indonesia berbeda dari Eropa. Di Eropa, orang minum minuman beralkohol sudah biasa. Bahkan, itu juga dilakukan sebelum melihat pertandingan sepak bola. Tak heran, alkohol jadi salah satu pemicu kerusuhan di Eropa.
’’Namun hal itu tidak berlaku di Indonesia. Hanya segelintir orang yang minum minuman beralkohol sebelum berangkat ke stadion untuk melihat pertandingan. Jadi, pengaruh alkohol pada beberapa kasus kerusuhan suporter di Indonesia hampir tidak ada,’’ terangnya.
Sosiolog dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Hermawan Pancasiwi berpendapat, suporter bukanlah masyarakat. Mereka adalah kerumunan yang bersifat anonim atau tidak bisa dilacak. Berdasarkan teori, di dalam kerumunan, orang akan jadi berani dan nekat. Semakin besar kerumunan, mereka akan jadi lebih berani dan nekat. ’’Mereka jadi nekat karena merasa tidak sendiri dan akan dibantu (jika terjadi sesuatu),’’ ujarnya.
Biasanya, awal kerusuhan disebabkan pemicu (trigger). Jika ada pemicu seperti melempar botol, mengumpat, lari ke lapangan, maka suporter akan dengan mudah meniru tindakan tersebut. Biasanya, pemicu berasal dari kalangan penonton, seperti penonton yang lari ke tengah lapangan. ’’Orang-orang yang berpengaruh dalam kelompok suporter dan sering mengomando harus benar-benar diawasi,’’ ungkapnya.
Selain penonton, wasit juga kerap jadi pemicu. Sebab, wasit adalah pengambil keputusan. Keputusannya kerap diinterpretasikan berbeda-beda. ’’Inilah ciri khas kerusuhan penonton sepak bola di Indonesia, turun ke lapangan dan cenderung menyerang wasit,’’ kata staf pengajar di Fakultas Hukum Unika itu.
Menurut Hermawan, sebetulnya ada faktor endapan kekecewaan atau obsesi yang tidak tercapai saat ingin melihat tim kesayangannya menang, yang selama ini melatarbelakangi hampir semua kerusuhan suporter di Indonesia. Para suporter dan penonton ini akhirnya menjadi orang-orang yang kecewa karena obsesi mereka tidak kesampaian.
’’Jika di tribun dan di pinggir lapangan sudah ada sekelompok orang yang kecewa, dan ada yang menjadi pemicu, maka bersiap-siaplah terjadi kerusuhan. Tapi kalau timnya menang dan dia berbuat kerusuhan, itu namanya bodoh, sebab akan mencoreng nama tim kesayangannya,’’ jelasnya.
Belum lagi latar belakang masalah sosial ekonomi yang dialami para suporter. Mereka ibarat katarsis, yakni mengeluarkan kesesakan atau rasa tertekan dari masalah-masalah yang selama ini menghimpit kehidupannya sehari-hari. Bisa jadi mereka yang berangkat nonton sepak bola adalah orang-orang yang membawa masalah pribadi masing-masing, seperti kesulitan sosial ekonomi. ’’Dan ini jadi kesempatan mereka untuk teriak-teriak,’’ imbuh Hermawan.
Karena itu, untuk menekan kerusuhan, PSSI seyogianya mengecek kenetralan wasit, memperhatikan kondisi lapangan, dan pemimpin kelompok-kelompok suporter. PSSI bisa memberdayakan petugas kepolisian untuk mencermati wasit dan penggerak-penggerak suporter yang berpotensi sebagai pemicu keributan.
Penggerak-penggerak itu, lanjutnya, harus diawasi dan ’’dielus-elus’’. Jika mereka dikasari, justru akan lebih berani karena merasa berada dalam jumlah yang banyak dan merasa banyak orang akan mendukungnya.
’’Seharusnya tugas polisi itu mengawasi siapa yang bisa menjadi pemicu dalam sebuah kelompok. Jangan setelah kejadian baru turun ke lapangan. Tapi yang terjadi sekarang, polisi hanya diam. Baru setelah kejadian mereka bergerak,’’ tandasnya. (Budi Winarto, Fani Ayudea-65)
KERUSUHAN suporter sepak bola di Indonesia seperti tiada habisnya. Dari tahun ke tahun, kejadian itu terus mewarnai persepakbolaan nasional. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya dalam bentuk materi dan psikis, tapi juga nyawa manusia. Tempat kejadiannya pun semakin meluas.
Tak hanya di Pulau Jawa, tapi sudah mulai merembet ke kota-kota di luar Jawa yang punya tim-tim sepak bola. Namun
hingga kini belum ada usaha riil dan tepat untuk meminimalkan atau mengantisipasi kerusuhan tersebut.
Pada akhir Januari dan awal Februari 2010 saja, terjadi dua kerusuhan suporter di Jawa Tengah.
Sabtu (23/1), ribuan bonek, suporter Persebaya, yang ngluruk ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya melawan Persib Bandung dengan naik kereta api, berbuat anarkis dengan melempari rumah dan menjarah barang-barang pedagang di sepanjang rel kereta api di Solo dan sekitarnya.
Aksi tersebut membuat marah warga Solo. Ketika bonek pulang dari Bandung pada 24 Februari, warga membalas dan melempari kereta api yang mereka tumpangi.
Belum hilang peristiwa itu dari ingatan kita, pada 1 Februari dunia persepakbolaan nasional kembali dikejutkan dengan aksi anarkis oknum suporter PSIS yang melempari bus suporter Persijap saat melintas di Jalan Siliwangi Semarang. Rencananya, suporter Laskar Kalinyamat itu akan mendukung tim kesayangannya saat ditantang Persija di Stadion Lebak Bulus. Akibatnya, tiga bus rusak parah dan belasan suporter Persijap luka-luka.
’’Banyak faktor penyebab kerusuhan suporter. Tapi, sejatinya kerusuhan yang selama ini terjadi lebih banyak disebabkan dua faktor, yaitu fanatisme kedaerahan yang tinggi serta permainan sepak bola itu sendiri,’’ ungkap mantan Ketua Umum Panser Biru (organisasi suporter PSIS), Andi Putra Alam.
Fanatisme kedaerahan inilah yang membuat suporter kadang tidak terima jika prestasi kesebelasan kesayangannya kalah dari tim lain, terutama tim daerah tetangga dekat. Mereka ingin klub jagoannya tetap superior terhadap tim-tim lain di sekitarnya.
Kondisi itu menciptakan persaingan dan emosi tinggi sehingga menjadikan sentimen kedaerahan, bahkan melahirkan dendam. Adapun tentang faktor sepak bola itu sendiri, menurut Andi, kerusuhan biasanya dipicu karena wasit berat sebelah, tim kesayangannya kalah dari tim tamu, dan perkelahian antarpemain.
Ingin Eksis
Lahirnya kerusuhan juga tak lepas dari fanatisme organisasi kelompok suporter. Kelompok-kelompok itu ingin terlihat eksis dan diakui masyarakat sebagai yang terbaik. Akibatnya, saat ini terlihat pergeseran pemahaman tentang arti suporter.
Suporter sejatinya merupakan orang atau sekelompok orang yang memberikan dukungan terhadap tim kesayangannya. Mereka akan memberikan segala perhatian, termasuk rela memberikan segala jiwa dan raganya terhadap tim kebanggaannya sebagai bentuk dukungan fanatik.
Namun, sekarang ini makna tersebut kurang dipahami para pendukung klub sepak bola. Mereka cenderung fanatik terhadap organisasi suporternya dibanding tim kesayangannya. Suporter kurang memiliki totalitas semangat untuk mendukung timnya, tapi mereka menghabiskan tenaganya untuk mengangkat nama organisasi.
’’Eman-eman kalau semangat suporter hanya untuk mendukung kelompoknya. Harusnya mereka lebih berani tampil kreatif, atraktif, dewasa, dan total dalam mendukung tim. Jika semangat dan totalitas mendukung tim itu yang lebih diutamakan, ketegangan antarsuporter bisa diminimalkan,’’ kata Andi.
Kerusuhan yang selama ini terjadi, menurut Sekretaris Umum (Sekum) Pengda PSSI Jateng Johar Lin Eng, memang lebih banyak terjadi di Pulau Jawa. Hal itu tidak mengherankan, mengingat tim-tim sepak bola dengan pendukung fanatiknya lebih banyak berada di Jawa dibanding dengan di luar Jawa. Aroma persaingannya pun lebih ketat. Tensi pertandingan akan lebih tinggi jika ada partai derby antartim sekota atau seprovinsi.
Misalkan Arema Malang lawan Persebaya Surabaya, Arema lawan Persik Kediri, PSIS lawan Persijap Jepara, serta Persija lawan Persib.
’’Saling hujat dan menghina antarsuporter di setiap pertandingan itu justru akan semakin memupuk rasa dendam. Jika itu terus dilakukan mereka, rasanya sulit untuk mengikis kekerasan dan kerusuhan dalam sepak bola,’’ ungkapnya.
Berbeda dengan di Jawa, kerusuhan suporter yang terjadi di luar Jawa biasanya lebih banyak disebabkan oleh permainan sepak bola itu sendiri, seperti tim kesayangannya kalah, kepemimpinan wasit yang kurang tegas, dan perkelahian antarpemain.
Lihat saja kerusuhan di Stadion Andi Mattalata Makassar saat PSM dikalahkan PSPS Pekanbaru 1-2 (3/11/2009). Pendukung Juku Eja marah dan melempari bangku cadangan pemain PSM, PSPS, dan aparat kepolisian.
Sebelumnya, pada 15 September 2008, suporter PSM juga ngamuk saat timnya dikalahkan Persela 1-3.
Laga Persipura di kandang Persiwa pada 1 Februari 2009 lalu juga berakhir rusuh ketika ribuan suporter tuan rumah menyerbu ke lapangan untuk merayakan kemenangan timnya dengan skor 1-0. Pendukung Persipura tidak terima diejek suporter Persiwa, sehingga terjadi perkelahian massal.
’’Di luar Jawa kerusuhan tidak sebrutal di Jawa. Penyebabnya hanya ketidakpuasan suporter terhadap hasil pertandingan. Jarang sekali tawuran antarsuporter seperti yang sering terjadi di Jawa,’’ terang Johar.
’’Pembinaan terhadap suporter perlu dilakukan. Itu menjadi tugas klub. Jika kelompok-kelompok suporter itu diarahkan secara benar, mereka akan lebih dewasa dalam mendukung tim kesayangannya,’’ imbuh general manager PSIS itu.
Masalah Pribadi
Bagaimana dengan pengaruh alkohol? Johar menyatakan, budaya masyarakat Indonesia berbeda dari Eropa. Di Eropa, orang minum minuman beralkohol sudah biasa. Bahkan, itu juga dilakukan sebelum melihat pertandingan sepak bola. Tak heran, alkohol jadi salah satu pemicu kerusuhan di Eropa.
’’Namun hal itu tidak berlaku di Indonesia. Hanya segelintir orang yang minum minuman beralkohol sebelum berangkat ke stadion untuk melihat pertandingan. Jadi, pengaruh alkohol pada beberapa kasus kerusuhan suporter di Indonesia hampir tidak ada,’’ terangnya.
Sosiolog dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Hermawan Pancasiwi berpendapat, suporter bukanlah masyarakat. Mereka adalah kerumunan yang bersifat anonim atau tidak bisa dilacak. Berdasarkan teori, di dalam kerumunan, orang akan jadi berani dan nekat. Semakin besar kerumunan, mereka akan jadi lebih berani dan nekat. ’’Mereka jadi nekat karena merasa tidak sendiri dan akan dibantu (jika terjadi sesuatu),’’ ujarnya.
Biasanya, awal kerusuhan disebabkan pemicu (trigger). Jika ada pemicu seperti melempar botol, mengumpat, lari ke lapangan, maka suporter akan dengan mudah meniru tindakan tersebut. Biasanya, pemicu berasal dari kalangan penonton, seperti penonton yang lari ke tengah lapangan. ’’Orang-orang yang berpengaruh dalam kelompok suporter dan sering mengomando harus benar-benar diawasi,’’ ungkapnya.
Selain penonton, wasit juga kerap jadi pemicu. Sebab, wasit adalah pengambil keputusan. Keputusannya kerap diinterpretasikan berbeda-beda. ’’Inilah ciri khas kerusuhan penonton sepak bola di Indonesia, turun ke lapangan dan cenderung menyerang wasit,’’ kata staf pengajar di Fakultas Hukum Unika itu.
Menurut Hermawan, sebetulnya ada faktor endapan kekecewaan atau obsesi yang tidak tercapai saat ingin melihat tim kesayangannya menang, yang selama ini melatarbelakangi hampir semua kerusuhan suporter di Indonesia. Para suporter dan penonton ini akhirnya menjadi orang-orang yang kecewa karena obsesi mereka tidak kesampaian.
’’Jika di tribun dan di pinggir lapangan sudah ada sekelompok orang yang kecewa, dan ada yang menjadi pemicu, maka bersiap-siaplah terjadi kerusuhan. Tapi kalau timnya menang dan dia berbuat kerusuhan, itu namanya bodoh, sebab akan mencoreng nama tim kesayangannya,’’ jelasnya.
Belum lagi latar belakang masalah sosial ekonomi yang dialami para suporter. Mereka ibarat katarsis, yakni mengeluarkan kesesakan atau rasa tertekan dari masalah-masalah yang selama ini menghimpit kehidupannya sehari-hari. Bisa jadi mereka yang berangkat nonton sepak bola adalah orang-orang yang membawa masalah pribadi masing-masing, seperti kesulitan sosial ekonomi. ’’Dan ini jadi kesempatan mereka untuk teriak-teriak,’’ imbuh Hermawan.
Karena itu, untuk menekan kerusuhan, PSSI seyogianya mengecek kenetralan wasit, memperhatikan kondisi lapangan, dan pemimpin kelompok-kelompok suporter. PSSI bisa memberdayakan petugas kepolisian untuk mencermati wasit dan penggerak-penggerak suporter yang berpotensi sebagai pemicu keributan.
Penggerak-penggerak itu, lanjutnya, harus diawasi dan ’’dielus-elus’’. Jika mereka dikasari, justru akan lebih berani karena merasa berada dalam jumlah yang banyak dan merasa banyak orang akan mendukungnya.
’’Seharusnya tugas polisi itu mengawasi siapa yang bisa menjadi pemicu dalam sebuah kelompok. Jangan setelah kejadian baru turun ke lapangan. Tapi yang terjadi sekarang, polisi hanya diam. Baru setelah kejadian mereka bergerak,’’ tandasnya. (Budi Winarto, Fani Ayudea-65)